Senin, 21 Oktober 2013

KEKERASAN TERHADAP ANGGOTA POLRI


Judul tulisan ini adalah tentang kejadian yang nyata terjadi belakangan ini terhadap anggota Polri, yang dilakukan oleh orang yang tidak diketahui dan tidak dapat ditangkap sampai sekarang. Keadaan ini mengundang beberapa pertanyaan, diantaranya :
-         Siapa yang melakukan  penembakan itu ?
-         Kenapa ada orang yang menembak anggota Polisi ?
-         Dimana anggota Polri ditembak orang ?
-         Kapan anggota Polri ditembak orang ?
-         Kenapa penembak anggota Polri itu tidak tertangkap ?
-         Apa akibat penembakan itu terhadap anggota Polri yang lain ?
-         Apa sikap pimpinan Polri terhadap kejadian itu ?
-         Kapan penembakan itu akan berakhir ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas tidak akan saya jawab satu persatu, tetapi dengan menjelaskan tugas yang dibebankan kepada saya dalam diskusi ini “ Tentang Kekerasan Terhadap Anggota Polri “, lebih kurang sebagian besar pertanyaan tersebut akan terjawab.

Tugas saya dari Panitia adalah memberikan gambaran tentang struktur dan materi hukum yang dapat memberikan efek cegah agar tidak terjadi hal tersebut, serta pandangan tentang kelemahan penegak hukum pada era reformasi dan solusinya.

GAMBARAN  TENTANG EGO-SEKTORAL DAN AKIBAT NEGATIF YANG DITIMBULKANNYA

Sejak KUHAP diberlakukan sampai sekarang, penyidik diawasi oleh atasan. Penyidik dan Jaksa mestinya diawasi oleh Hakim dengan cara harus ada Ijin Hakim, melalui  “pra peradilan”, seperti yang terjadi di Jepang dan negara-negara maju lainnya. Akibat  dari sistim pengawasan internal saja yang dianut oleh Polri, menyebabkan Polri terkurung kebijaksanaannya secara sektoral, karena pengawasan terhadap bawahan sendiri tidak memberikan hasil yang optimal, bahkan menimbulkan kesepakatan sektoral diantara anggota Polri melawan Jaksa, Hakim dan Advokat.
Kesepakatan sektoral ini adalah ikatan yang kukuh diantara anggota Polri, tetapi menimbulkan efek negatif terhadap masyarakat, bahkan lebih dari itu, penyidik  memandang anggota masyarakat sebagai objek.

Memandang anggota masyarakat sebagai objek menyebabkan hak asasi dari orang itu tertindas atas perlakuan penyidik, sebab hak asasi dari anggota masyarakat baru tumbuh dan tegak dengan baik, bila penyidik memperlakukan tersangka sebagai subjek.

Sebagai objek

Contoh penyidik memperlakukan tersangka sebagai objek adalah :
-         Penyidik membentak tersangka.
-         Penyidik memukul tersangka.
-         Penyidik menembak kaki tersangka dibagian belakang dengkul atau betis.
-         Penyidik menjebak tersangka dengan sepotong rokok yang            mengandung narkoba, atau jenis lain.

Contoh lain:

Penyidik menyalahgunakan jabatannya untuk mendapat keuntungan, seperti :
-         Tersangka pencuri 20 motor, ditawari keringan hukuman, dengan syarat memberhentikan pengacaranya. Setelah diberhentikan, penyidik mengajari tersangka untuk mengaku ia hanya mencuri dua motor. Tentu saja hukumannya lebih ringan.
-         Anggota Polri banyak menangkap import narkoba/ekstasi atau menangkap pabrik ekstasi dan sekali-sekali menghancurkannya dimuka umum, tetapi ditempat-tempat tertentu masih banyak kejadian penjualan dan pemakaian narkoba atau ekstasi, bahkan sampai kesekolah-sekolah dasar. Siapa yang bertanggung jawab terhadap keadaan itu ?
-         Polisi melakukan pembiaran terhadap demo yang anarkhis, sehingga banyak anak muda yang menggunakan kesempatan itu dilain waktu untuk melawan Polisi, pada waktu permbersihan dilakukan Polisi.
-         Polisi membiarkan kelompok anak muda ngebut dijalan umum, walaupun hal itu melanggar hukum dan bahkan membahayakan. Pada waktu Polisi mengadakan penertiban dan menyita motor pengebut, kelompok  anak-anak muda ini berani melawan Polisi dengan  demo, cacian dan lemparan batu.

Masyarakat tidak merasa mendapat perlindungan maksimal.


Antipati

Contoh-contoh kasus diatas menunjukkan anggota masyarakat tidak merasa mendapat perlindungan secara maksimal dari anggota Polri, sehingga timbul antipati atau dendam anggota keluarga tersangka, karena  merasa terzolimi. Bahkan kejadian yang tidak baik tentang kelakuan anggota Polri itu, mudah tersebar pada  masyarakat luas, melalui koran, internet atau televisi. Selanjutnya, kejadian-kejadian  tersebut menumpuk menjadi bebas didalam hati sanubari pembaca atau penonton tanpa dapat melupakannya.    

Seandainya salah satu anggota keluarga-dekat dari orang yang ditembak dengkulnya itu, ahli menggunakan senjata, kemungkinan ia akan melampiaskan kekesalannya atau kekesalan bersama dengan  menembak anggota Polisi yang terdekat ditemuinya di jalan atau di kantor Polisi terpencil. Karena para pelaku tidak tertangkap, maka kejadian itu berulang-ulang, seolah-olah mereka berjamaah melakukan penembakan terhadap anggota Polisi, padahal belum tentu  seperti itu. Tetapi beritanya sudah menjadi dramatis diolah mass-media.

Dalam proses penyidikan.

Tugas penyidikan adalah mengumpulkan bukti-bukti kejahatan kemudian memberkas dan mengirimkannya kepada Jaksa untuk diteliti. Bila Jaksa sudah puas, ia mengirim surat P21 kepada penyidik dan minta tersangka dan barang bukti yang tidak termasuk dalam berkas  dikirimkan kepadanya, untuk tujuan merancang surat dakwaan yang akan disampaikan kepada Hakim.

Damai dan ego sektoral.

Tetapi sering terjadi, berkas itu pulang-pergi antara penyidik dan Jaksa, dan hal ini menjengkelkan penyidik. Kejengkelan yang diaminin oleh atasan sendiri, berpotensi untuk mencari jalan keluar lain. Saat inilah terjadi penyimpangan tugas yang tersembunyi, yaitu mendamaikan terlapor dengan pelapor. Mendamaikan perkara pidana adalah perbuatan haram dilakukan oleh penyidik, tetapi kesulitan menghadapi Jaksa merubah persepsi  penyidik, bahwa perbuatannya itu menguntungkan masyarakat. Bahkan sekarang,  kebanyakan perwira atasannya memuji penyelesaian itu, padahal bertentangan dengan undang-undang. Hal ini dapat dianggap sebagai penyangkalan penyidik terhadap berlakunya KUHAP sebagai hukum acara yang baku. Disini,    Hukum Aacara Pidana ditafsir sendiri oleh penyidik untuk  memudahkan tugasnya, tetapi mengorbankan tujuan penegakan hukum, yaitu ketertiban umum, keadilan dan kepastian hukum. 

Dan hal ini menjadi pertunjukan yang  tidak baik, sebab ego sektoral menjadi pedoman anggota Polisi, walaupun bertentangan dengan undang-undang hukum acara pidana. KUHAP sudah mengatur, bahwa laporan kejadian pidana disidik oleh Penyidik, dituntut oleh Jaksa, dibela oleh Penasehat Hukum dan di vonnis oleh Hakim.
Dalam hal damai terjadi, Penyidik Polisi telah mengambil alih tugas Jaksa, Penasihat Hukum dan Hakim.

Ego sektoral ini juga terjadi dalam hal Ketua Pengadilan Negeri minta bantuan Kepala Polisi setempat, untuk mengeksekusi putusan perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, misalnya Ketua Pengadilan Negeri mohon bantuan Kepala Polisi setempat untuk mengeksekusi penetapan pengosongan tanah/rumah dalam rangka melaksanakan putusan Hakim.  Kepala Polisi bersangkutan mempertimbangkan  apakah akan menuruti penetapan Hakim bersangkutan terlebih dahulu atau menolak, sambil menunggu keterangan tambahan yang akan diberikan oleh pihak yang akan datang meminta bantuan, apakah pemohon eksekusi atau termohon eksekusi.

Pokoknya Kepala Polisi memutuskan dengan pendapat sendiri.

Di Belanda Kepala Polisi tidak boleh menolak perintah Hakim.

EGO SENTRAL PENEGAK HUKUM

Ego sentral terjadi pada anggota Kepolisian, Kejaksaan,  Hakim  Advokat, sehingga  menghambat kelancaran pembangunan hukum acara pidana yang baru di Indonesia, karena masing-masing mendahulukan kepentingan kelompoknya sendiri, selanjutnya kepentingan pribadi masing-masing anggota penegak hukum, dan kekuatan ego sentral tersebut masih sulit dilepaskan oleh masing-masing badan penegak hukum, karena effeknya sudah merasuk kedalam peredaran darah masing-masing anggota.
Apa yang merasuk darah anggota-anggota tersebut ? Yaitu kepentingan hidup keluarga (sebab kurang gaji), keserakahan, sebab tidak cukup makan tiga kali sehari.




PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA

Sekarang ini, sebuah panitia yang diketuai oleh Prof. DR Andy Hamzah, SH sedang mengintrodusir KUHAP BARU, yang terhambat pengajuannya kepada SEKNEG, dan DPR RI, karena ada pihak yang kebertan terhadap perubahan-perubahan yang diusulkan.

Sebetulnya, apa yang diusulkan oleh Pak Hamzah tersebut, adalah hasil penelitian dan studi banding bertahun-tahun di Indonesia dan diluar negeri, dimana proses penegakan hukum sudah berjalan secara modern dan konsekwen dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Dalam Tim yang dipimpin oleh Pak Hamzah tersebut, semua anggota badan penegak hukum sudah terwakili, termasuk anggota Polri.

MENAHAN ORANG HARUS MENDAPAT IZIN KETUA PN

Salah satu usul dari panitia tersebut adalah memperbaharui sistim pengawasan pada penyidik tentang penahanan. Seorang tersangka, menurut hukum pidana, boleh ditahan oleh penyidik apabila menemukan  dua bukti. Yang menentukan dua bukti sudah dipenuhi adalah hakim pra peradilan yang bertugas selama 24 jam di Pengadilan Negeri. Dalam proses menemukan dua bukti tersebut, penyidik dipimpin oleh Jaksa (boleh melalui telepon). Selanjutnya bersama-sama dengan Jaksa, penyidik mengajukan permohonan penahanan pada Hakim. Dalam sidang pra peradilan tersebut Jaksa wajib membuktikan dua alat bukti tersebut. Tersangka didampingi oleh Advokat.  Bila Hakim puas, maka izin penahanan dikeluarkan oleh Hakim.

KORUPSI

Didalam tubuh empat penegak hukum Indonesia ini sudah merata rayapan korupsi dari bawah keatas dan dari atas kebawah. Merayap dari bawah keatas, artinya agar seseorang diterima di badan penegak hukum tersebut dan untuk naik pangkat atau untuk mendapat fasilitas yang baik, harus memberi setoran. Sebaliknya, dari atas diberikan tugas khusus pada bawahan dan kadang-kadang ditargetkan untuk menghasilkan sesuatu dana keperluan pengembangan program bersama.





JALAN KELUAR

Jalan keluar dari dilemma yang kita hadapi sekarang adalah:

1.     Pendidikan bersama antara Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat. Caranya tidak perlu mendirikan pendidikan yang baru, cukup dengan  mengirimkan penyidik kesekolah Jaksa selama 6 bulan untuk mempelajari ilmu Jaksa tentang pendakwaan dan penuntutan, kemudian 6 bulan lagi untuk mempelajari ilmu membuat keputusan yang baik (Sekolah Hakim), dan terakhir 6 bulan lagi disekolah Advokat untuk menimba ilmu pembelaan. Apabila hal ini bisa dijalankan secara bergiliran, maka pikiran sektoral tidak akan timbul lagi, dan proses penegakan hukum berjalan dengan lancar, tanpa friksi.

2.     Untuk memberantas perbuatan korupsi, pimpinan harus tegas melaksanakan program kerja dan menjadi contoh yang baik untuk menanamkan budaya malu pada bawahan.



Jakarta, 10 Oktober 2013.
  


Yan Apul, SH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar