Senin, 21 Oktober 2013

KEKERASAN TERHADAP ANGGOTA POLRI


Judul tulisan ini adalah tentang kejadian yang nyata terjadi belakangan ini terhadap anggota Polri, yang dilakukan oleh orang yang tidak diketahui dan tidak dapat ditangkap sampai sekarang. Keadaan ini mengundang beberapa pertanyaan, diantaranya :
-         Siapa yang melakukan  penembakan itu ?
-         Kenapa ada orang yang menembak anggota Polisi ?
-         Dimana anggota Polri ditembak orang ?
-         Kapan anggota Polri ditembak orang ?
-         Kenapa penembak anggota Polri itu tidak tertangkap ?
-         Apa akibat penembakan itu terhadap anggota Polri yang lain ?
-         Apa sikap pimpinan Polri terhadap kejadian itu ?
-         Kapan penembakan itu akan berakhir ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas tidak akan saya jawab satu persatu, tetapi dengan menjelaskan tugas yang dibebankan kepada saya dalam diskusi ini “ Tentang Kekerasan Terhadap Anggota Polri “, lebih kurang sebagian besar pertanyaan tersebut akan terjawab.

Tugas saya dari Panitia adalah memberikan gambaran tentang struktur dan materi hukum yang dapat memberikan efek cegah agar tidak terjadi hal tersebut, serta pandangan tentang kelemahan penegak hukum pada era reformasi dan solusinya.

GAMBARAN  TENTANG EGO-SEKTORAL DAN AKIBAT NEGATIF YANG DITIMBULKANNYA

Sejak KUHAP diberlakukan sampai sekarang, penyidik diawasi oleh atasan. Penyidik dan Jaksa mestinya diawasi oleh Hakim dengan cara harus ada Ijin Hakim, melalui  “pra peradilan”, seperti yang terjadi di Jepang dan negara-negara maju lainnya. Akibat  dari sistim pengawasan internal saja yang dianut oleh Polri, menyebabkan Polri terkurung kebijaksanaannya secara sektoral, karena pengawasan terhadap bawahan sendiri tidak memberikan hasil yang optimal, bahkan menimbulkan kesepakatan sektoral diantara anggota Polri melawan Jaksa, Hakim dan Advokat.
Kesepakatan sektoral ini adalah ikatan yang kukuh diantara anggota Polri, tetapi menimbulkan efek negatif terhadap masyarakat, bahkan lebih dari itu, penyidik  memandang anggota masyarakat sebagai objek.

Memandang anggota masyarakat sebagai objek menyebabkan hak asasi dari orang itu tertindas atas perlakuan penyidik, sebab hak asasi dari anggota masyarakat baru tumbuh dan tegak dengan baik, bila penyidik memperlakukan tersangka sebagai subjek.

Sebagai objek

Contoh penyidik memperlakukan tersangka sebagai objek adalah :
-         Penyidik membentak tersangka.
-         Penyidik memukul tersangka.
-         Penyidik menembak kaki tersangka dibagian belakang dengkul atau betis.
-         Penyidik menjebak tersangka dengan sepotong rokok yang            mengandung narkoba, atau jenis lain.

Contoh lain:

Penyidik menyalahgunakan jabatannya untuk mendapat keuntungan, seperti :
-         Tersangka pencuri 20 motor, ditawari keringan hukuman, dengan syarat memberhentikan pengacaranya. Setelah diberhentikan, penyidik mengajari tersangka untuk mengaku ia hanya mencuri dua motor. Tentu saja hukumannya lebih ringan.
-         Anggota Polri banyak menangkap import narkoba/ekstasi atau menangkap pabrik ekstasi dan sekali-sekali menghancurkannya dimuka umum, tetapi ditempat-tempat tertentu masih banyak kejadian penjualan dan pemakaian narkoba atau ekstasi, bahkan sampai kesekolah-sekolah dasar. Siapa yang bertanggung jawab terhadap keadaan itu ?
-         Polisi melakukan pembiaran terhadap demo yang anarkhis, sehingga banyak anak muda yang menggunakan kesempatan itu dilain waktu untuk melawan Polisi, pada waktu permbersihan dilakukan Polisi.
-         Polisi membiarkan kelompok anak muda ngebut dijalan umum, walaupun hal itu melanggar hukum dan bahkan membahayakan. Pada waktu Polisi mengadakan penertiban dan menyita motor pengebut, kelompok  anak-anak muda ini berani melawan Polisi dengan  demo, cacian dan lemparan batu.

Masyarakat tidak merasa mendapat perlindungan maksimal.


Antipati

Contoh-contoh kasus diatas menunjukkan anggota masyarakat tidak merasa mendapat perlindungan secara maksimal dari anggota Polri, sehingga timbul antipati atau dendam anggota keluarga tersangka, karena  merasa terzolimi. Bahkan kejadian yang tidak baik tentang kelakuan anggota Polri itu, mudah tersebar pada  masyarakat luas, melalui koran, internet atau televisi. Selanjutnya, kejadian-kejadian  tersebut menumpuk menjadi bebas didalam hati sanubari pembaca atau penonton tanpa dapat melupakannya.    

Seandainya salah satu anggota keluarga-dekat dari orang yang ditembak dengkulnya itu, ahli menggunakan senjata, kemungkinan ia akan melampiaskan kekesalannya atau kekesalan bersama dengan  menembak anggota Polisi yang terdekat ditemuinya di jalan atau di kantor Polisi terpencil. Karena para pelaku tidak tertangkap, maka kejadian itu berulang-ulang, seolah-olah mereka berjamaah melakukan penembakan terhadap anggota Polisi, padahal belum tentu  seperti itu. Tetapi beritanya sudah menjadi dramatis diolah mass-media.

Dalam proses penyidikan.

Tugas penyidikan adalah mengumpulkan bukti-bukti kejahatan kemudian memberkas dan mengirimkannya kepada Jaksa untuk diteliti. Bila Jaksa sudah puas, ia mengirim surat P21 kepada penyidik dan minta tersangka dan barang bukti yang tidak termasuk dalam berkas  dikirimkan kepadanya, untuk tujuan merancang surat dakwaan yang akan disampaikan kepada Hakim.

Damai dan ego sektoral.

Tetapi sering terjadi, berkas itu pulang-pergi antara penyidik dan Jaksa, dan hal ini menjengkelkan penyidik. Kejengkelan yang diaminin oleh atasan sendiri, berpotensi untuk mencari jalan keluar lain. Saat inilah terjadi penyimpangan tugas yang tersembunyi, yaitu mendamaikan terlapor dengan pelapor. Mendamaikan perkara pidana adalah perbuatan haram dilakukan oleh penyidik, tetapi kesulitan menghadapi Jaksa merubah persepsi  penyidik, bahwa perbuatannya itu menguntungkan masyarakat. Bahkan sekarang,  kebanyakan perwira atasannya memuji penyelesaian itu, padahal bertentangan dengan undang-undang. Hal ini dapat dianggap sebagai penyangkalan penyidik terhadap berlakunya KUHAP sebagai hukum acara yang baku. Disini,    Hukum Aacara Pidana ditafsir sendiri oleh penyidik untuk  memudahkan tugasnya, tetapi mengorbankan tujuan penegakan hukum, yaitu ketertiban umum, keadilan dan kepastian hukum. 

Dan hal ini menjadi pertunjukan yang  tidak baik, sebab ego sektoral menjadi pedoman anggota Polisi, walaupun bertentangan dengan undang-undang hukum acara pidana. KUHAP sudah mengatur, bahwa laporan kejadian pidana disidik oleh Penyidik, dituntut oleh Jaksa, dibela oleh Penasehat Hukum dan di vonnis oleh Hakim.
Dalam hal damai terjadi, Penyidik Polisi telah mengambil alih tugas Jaksa, Penasihat Hukum dan Hakim.

Ego sektoral ini juga terjadi dalam hal Ketua Pengadilan Negeri minta bantuan Kepala Polisi setempat, untuk mengeksekusi putusan perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, misalnya Ketua Pengadilan Negeri mohon bantuan Kepala Polisi setempat untuk mengeksekusi penetapan pengosongan tanah/rumah dalam rangka melaksanakan putusan Hakim.  Kepala Polisi bersangkutan mempertimbangkan  apakah akan menuruti penetapan Hakim bersangkutan terlebih dahulu atau menolak, sambil menunggu keterangan tambahan yang akan diberikan oleh pihak yang akan datang meminta bantuan, apakah pemohon eksekusi atau termohon eksekusi.

Pokoknya Kepala Polisi memutuskan dengan pendapat sendiri.

Di Belanda Kepala Polisi tidak boleh menolak perintah Hakim.

EGO SENTRAL PENEGAK HUKUM

Ego sentral terjadi pada anggota Kepolisian, Kejaksaan,  Hakim  Advokat, sehingga  menghambat kelancaran pembangunan hukum acara pidana yang baru di Indonesia, karena masing-masing mendahulukan kepentingan kelompoknya sendiri, selanjutnya kepentingan pribadi masing-masing anggota penegak hukum, dan kekuatan ego sentral tersebut masih sulit dilepaskan oleh masing-masing badan penegak hukum, karena effeknya sudah merasuk kedalam peredaran darah masing-masing anggota.
Apa yang merasuk darah anggota-anggota tersebut ? Yaitu kepentingan hidup keluarga (sebab kurang gaji), keserakahan, sebab tidak cukup makan tiga kali sehari.




PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA

Sekarang ini, sebuah panitia yang diketuai oleh Prof. DR Andy Hamzah, SH sedang mengintrodusir KUHAP BARU, yang terhambat pengajuannya kepada SEKNEG, dan DPR RI, karena ada pihak yang kebertan terhadap perubahan-perubahan yang diusulkan.

Sebetulnya, apa yang diusulkan oleh Pak Hamzah tersebut, adalah hasil penelitian dan studi banding bertahun-tahun di Indonesia dan diluar negeri, dimana proses penegakan hukum sudah berjalan secara modern dan konsekwen dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Dalam Tim yang dipimpin oleh Pak Hamzah tersebut, semua anggota badan penegak hukum sudah terwakili, termasuk anggota Polri.

MENAHAN ORANG HARUS MENDAPAT IZIN KETUA PN

Salah satu usul dari panitia tersebut adalah memperbaharui sistim pengawasan pada penyidik tentang penahanan. Seorang tersangka, menurut hukum pidana, boleh ditahan oleh penyidik apabila menemukan  dua bukti. Yang menentukan dua bukti sudah dipenuhi adalah hakim pra peradilan yang bertugas selama 24 jam di Pengadilan Negeri. Dalam proses menemukan dua bukti tersebut, penyidik dipimpin oleh Jaksa (boleh melalui telepon). Selanjutnya bersama-sama dengan Jaksa, penyidik mengajukan permohonan penahanan pada Hakim. Dalam sidang pra peradilan tersebut Jaksa wajib membuktikan dua alat bukti tersebut. Tersangka didampingi oleh Advokat.  Bila Hakim puas, maka izin penahanan dikeluarkan oleh Hakim.

KORUPSI

Didalam tubuh empat penegak hukum Indonesia ini sudah merata rayapan korupsi dari bawah keatas dan dari atas kebawah. Merayap dari bawah keatas, artinya agar seseorang diterima di badan penegak hukum tersebut dan untuk naik pangkat atau untuk mendapat fasilitas yang baik, harus memberi setoran. Sebaliknya, dari atas diberikan tugas khusus pada bawahan dan kadang-kadang ditargetkan untuk menghasilkan sesuatu dana keperluan pengembangan program bersama.





JALAN KELUAR

Jalan keluar dari dilemma yang kita hadapi sekarang adalah:

1.     Pendidikan bersama antara Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat. Caranya tidak perlu mendirikan pendidikan yang baru, cukup dengan  mengirimkan penyidik kesekolah Jaksa selama 6 bulan untuk mempelajari ilmu Jaksa tentang pendakwaan dan penuntutan, kemudian 6 bulan lagi untuk mempelajari ilmu membuat keputusan yang baik (Sekolah Hakim), dan terakhir 6 bulan lagi disekolah Advokat untuk menimba ilmu pembelaan. Apabila hal ini bisa dijalankan secara bergiliran, maka pikiran sektoral tidak akan timbul lagi, dan proses penegakan hukum berjalan dengan lancar, tanpa friksi.

2.     Untuk memberantas perbuatan korupsi, pimpinan harus tegas melaksanakan program kerja dan menjadi contoh yang baik untuk menanamkan budaya malu pada bawahan.



Jakarta, 10 Oktober 2013.
  


Yan Apul, SH

Senin, 28 Januari 2013

Kita Ingin Menjadi Pelopor Officium Nobile Di Indonesia


(Yan Apul, SH. Ketua Dewan Kehormatan Pusat AAI)

Sebetulnya, AAI memilih satu jalan yang diharapkan menjadi jalan keluar untuk penegakan hukum, karena kita menganggap bahwa organisasi-organisasi advokat yang ada belum menjalankan tugas utamanya yaitu yang disebut dengan penegakan hukum dikalangan orang miskin. Memang ada, tetapi ternyata itu tidak efektif, kita tidak melihat bahwa organisasi-organisasi advokat mulai keberpihakannya kepada orang miskin.

Ternyata apa yang dilakukan oleh ketua kami yaitu sadara Humphrey dengan TKI, ternyata dihargai oleh rakyat banyak dan oleh pemerintah sendiri. Karena betu-betul menyentuh kebutuhan rakyat miskin. Setelah saudara Humprey mendemonstrasikannya dimana-mana.

Pada saat Munaslub AAI di Bali, kita semua sudah menyetujui, berjanji dan akan menjalankan Officium Nobile, jadi usaha kita berikutnya adalah membentuk sebuah badan yaitu “Yayasan Officium Nobile Posbakum AAI”. Sejalan dengan rencana Undang-Undang bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu.

Kita tunjukan kepada masyarakat bahwa kita betul-betul menjalankan Officium Nobile dan bukan untuk gagah-gagahan, kita juga tidak melupakan organisasi diluar sana yang masih mau mengerjakan hal seperti ini.  Kita tidak perlu bersaing dengan mereka kita cukup bergandengan tangan saja, toh tujuannya untuk membela orang miskin dan bukan untuk mencari uang, kita tidak keberatan jika bisa bekerjasama denga organisasi yang lain. Ini bukan masalah persaingan organisasi advokat tapi kita menjadi pelopor officum nobile di Indonesia.

Nah ini menjadi suatu pekerjaan betul-betul officium nobile yang pertama mempunyai nilai kemanusiaan, mempunyai nilai keadilan didalam officium nobile, lalu kita mempunyai nilai kepatutan, dan yang terakhir mempunyai nilai kejujuran yang kita capai dengan menjalankan officium nobile ini.

Dan keuntungan AAI ini mempunyai 113 cabang yang nantinya akan melaksanakan pekerjaan yaitu memberikan bantuan hukum. Cuma kita tidak boleh terburu-buru sebelum mempunyai SOP jangan bernafsu ke 113 cabangnya AAI.

Kalau mau jadi pengacara dan suda PKPA jangan befikir membela korupsi, tapi dilatih dulu di pengadilan agar ke empat hal officum nobile tersebut bisa terlaksana dengan lahirnya advokat-advokat pejuang. Sebetulnya masyarakat harus perlu tahu tugas kita ini, bukan hanya membantu dipengadilan tapi kita sebetulnya adalah juru penerang hukum yang baik untuk masyarakat. Advokat adalah penegak hukum kesadaran masyarakat.

Sebuah Payung untuk Semua Pengacara


Adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi Yan Apul ketika mengetahui saat ini semakin banyak peminat terhadap profesi pengacara, sebuah profesi yang diharapkannya menjadi profesi yang disegani. Yan melihat, jumlah pengacara saat ini sudah banyak, sekitar 30.000 orang. Selain itu, para pengacara Indonesia masih tersekat-sekat dalam beberapa organisasi pengacara. Praktis, tidaklah mudah menyatukan mereka karena kunikannya berbeda-beda. Menurut Yan, kondisi yang demikian sangat berpotensi menimbulkan problem dalam hal etika profesi.

“sekarang ini seorang pengacara yang melakukan pelanggaran tidak dapat diberikan sanksi untuk tidak tampil di pengadilan. Sebab jika dia dipecat dan keanggotaannya dicabut dari satu organisasi, dia akan bergabung ke organisasi lainnya,” jelas Yan.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah organisasi pengacara atau advokat justru mengkalim organisasinya adalah wadah tunggal bagi para pengacara Indonesia. Misalnya, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Persatuan Advokat Indonesia  (PERADIN).
Yan memaparkan, kenyataan tersebut dapat menghambat sistem penegakan hukum di Indonesia serta membingungkan mereka yang baru saja lulus sekolah pengacara. Padahal, mereka yang baru saja memulai profesi ini memerlukan kartu identitas dan panduan etika profesi untuk praktek. Maka tidak mengherankan Yan sangat berharap agar hanya ada satu wadah bagi para pengacara Indonesia.

Padahal, pembuat undang-undang telah mengatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang pembentukan wadah tunggal organisasi advokat. namun kenyataannya, masih jauh panggang dari api.

Lebih jauh, Yan mengemukakan, tantangan terbesar organisasi profesi pengacara saat ini adalah bagaimana membenahi tingkah laku pengacara. Menurutnya, pembenahan baru mungkin terlaksana jika ada organisasi yang memayungi setiap orang yang menjalani profesi advokat tersebut. Solusi agar terbentuk satu organisasi, menurut Yan Apul, semua pengacara harus bersatu melalui konggres nasional yang melibatkan pengacara dari Sabang hinga Merauke. Proses pembentukan pengurus pun harus dilakukan secara demokratis.

Sang pengacara Kawakan Berjiwa Sosial

“Sebagai sebuah pekerjaan, pengacara merupakan sumber nafkah. Namun sebagai profesi di dunia hukum, pengacara bukan lagi sekedar seumber penghasil rupiah. Sebagai profesi yang memahami hukum, pengacara juga sebentuk tanggung jawab sosial bagi masyarakat yang berlandaskan hukum. Maka dimensi sosial dari seorang pengacra sudah inheren terdapat dalam profesi tersebut.”

Usia 74 tahun tidak bisa menyembunyikan penampilan gagah dari pengacara senior ini. Kegagahan itu diperkuat oleh suara baritonya yang ‘berat’. Pria kelahiran Seribudolok, Sumatera Utara, 24 Nopember 1938 ini terlahir dengan nama Djanapul Hasiholan Girsang. Namun salah seorang gurunya menuliskan namanya menjadi Jan Apul Hasiholan Girsang. Ketika Ejaan yang disempurnakan pada bahasa Indonesia diberlakukan, nama tersebut mengalami penyesuaian menjadi Yan Apul Hasiholan Girsang.

Pasca menamatkan studi hukum di Universitas Indonesia pada 1963, Yan Apul kembali ke Medan dan merintis karir sebagai jaksa. Selang beberapa waktu, Yan Apul beralih menjadi sorang pengusaha ekspor produk pertanian, seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, ubi kayu, makanan ternak dan impor onderdil kendaraan bermotor. Profesi ini tidak berlangsung lama. Ia merasa tidak menyukai bidang bisnis dan mencoba keberuntungan sebagai pengacara.

Sebelum melakoni profesi pengacara, Yan sempat bertanya kepada sejumlah rekan-rekannya perihal dinamika profesi tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak mudah untuk mencari dan mendapatkan klien. “mendengar hal itu, saya justru merasa tertantang,” terangnya mengingat masa peralihan profesinya itu.
Ternyata menjadi pengacara juga bukan hal yang mudah. Untuk mendapatkan izin beracara ia harus berulang kali mendatangi Departemen Kehakiman yang berada di Jakarta. Yan Apul harus menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk mendapatkan izin beracara.

Pengalamannya bertahun-tahun sebagai seorang pengacara telah menempa Yan Apul menjadi seorang pengacara yang sarat dengan pengalaman. Menurutnya, tuntunan bagi seorang pengacara adalah keharusan membaca dan mempelajari yurisprudensi, serta pengalaman menangani berbagai kasus. Itulah yang membuat dirinya memiliki pengetahuan, menurut Yan Apul, akan mempermudah seorang pencara untuk menyelesaikan suatu kasus yang sedang ia tangani.

Terhitung sejak 1978 hingga 2011, Yan Apul aktif sebagai dosen hukum. Bahkan ia juga aktif menjadi pembicara di berbagai seminar. Yan tidak pernah berhitung saat membagi pengetahuan yang ia miliki. Sejauh ia masih bisa melakukannya, ia akan senang hati menerima permintaan siapapun untuk berbicara diberbagai kesempatan seperti seminar dan kelas-kelas hukum.

Baginya, berbagi ilmu merupakan suatu keharusan. Inilah yang mendorongnya untuk terus berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada 13 pengacara yang bernaung di kantornya. Kepada mereka, Yan tidak pernah bosan mengingatkan bahwa hal terpenting yang harus dipegang oleh seorang pengacara adalah kejujuran. Nilai kejujuran sudah menjadi harga mati yang harus mereka pegang jika ingin menuai sukses sebagai seorang pengacara. Sebut saja nama-nama pengacara kondang yang telah berguru kepada Yan Apul, di antaranya Mery Girsang, Jamin Ginting dan pencara-pengacara lainnya.

Mendukung penegakan hukum

Berawal dari kunjungan Ketua Asosiasi Advokat dari Jepang ke PN Jakarta Barat, Yan Apul semakin menyadari peran sosial yang dimiliki oleh seorang pengacara. Saat itu para advokat dari Jepang melihat para terdakwa bekepala pelontos digiring ke ruang sidang. Salah seorang advokat dari Negeri Sakura tersebut bertanya, “Mana pembelanya?” “tidak ada,” jawab Yan Apul.

Peristiwa itu mengusik hati mantan Ketua PERADIN Cabang Jakarta tahun 1979. Keterusikan itulah yang melandasi gagasan berdirinya Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM). Nama POSBAKUM diberikan oleh seorang teman jaksa bernama Soehardibroto, SH. Inilah tempat para pengacara memberikan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pemberian bantuan hukum secara sukarela. Gagasan ini mendapat apresiasi yang cukup besar dari para pengacara di seluruh Indonesia. Hasilnya? Kini POSBAKUM telah berdiri dari Sabang hingga Merauke.

Lebih lanjut Yan menjelaskan, selama ini masyarakat miskin tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan hukum. Dengan adanya POSBAKUM, golongan masyarakat tersebut dapat memperoleh bantuan hukum secara gratis. Jika dilihat dari sisi lain, keberadaan anggota POSBAKUM yang mendampingi terdakwa akan menciptakan proses peradilan yang berjalan secara akuntabel.

Yan Apul menandaskan, Setiap orang punya hak untuk didampingi dan dibela oleh seorang pengacara. Ketika seorang pengacara membela seorang terdakwa, di sinilah profesi pengacara menjadi sumber penerangan hukum. Seorang pengacara dapat memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat melalui profesinya, terlepas dari status sosial dan ‘siapa’ yang dibelanya.

Kualitas pengacara

“dahulu saya tidak tahu cara membuat berbagai surat resmi yang harus dibuat oleh seorang pengacara,” ujar Yan mengenang pengalamannya ketika baru saja mulai melakoni profesi pengacara. Ia tidak tahu cara membuat surat gugatan dan berbagai surat resmi lainnya. Padahal pengetahuan dan kemampuan semacam itu praktis sangat dibutuhkan oleh seorang pengacara. Maka pada 1980, Yan mengagas berdirinya pendidikan bagi para pengacara.
                “saya ingin agar teman-teman yang mau menjadi pengaraca atau advokat memiliki keterampilan yang seimbang dengan para pendahulunya,” ucapnya.
Yan berharap, para pengacara Indonesia saat ini seperti para pengacara Amerika Serikat (AS). Ia mengatakan bahwa di negeri Paman Sam tersebut profesi advokat adalah profesi yang disegani. Di AS, seseorang dipanggil kepolisian baru menjalani proses penyidikan ketika sudah didampingi oleh pengacara. Kondisinya berbeda 180 derajad dengan apa yang terjadi di Indonesia. Yan memahami fenomena ini sebagai melorotnya apresiasi publik terhadap profesi pengacara sekaligus cermin buram wajah hukum Indonesia. Menurutnya, hukum yang berlaku saat ini belum mampu menegakkan ketentraman dan ketertiban (rust en orde) dalam masyarakat.

Namun, Yan Apul mengakui, sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) wajah hukum yang tadinya buram mulai memendarkan secercah terang. Jika kita bandingkan dengan beberapa pendahulunya,Yan menilai SBY lebih berani dalam memberantas korupsi dengan political will-nya. Pada saat SBY dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, terdapat sekitar 365 perkara korupsi di Kejaksaan Agung yang harus dibuka di pengadilan dan 200 perkara yang harus di-SP3-kan. “Pendahulunya tidak pernah memproses perkara-perkara tersebut hingga ke pengadilan. Saya tidak bermaksud memuji SBY, tapi itulah faktanya,” ungkap Yan.

Kunci lainnya guna mendukung berjalan hukum dengan baik adalah kekompakan pilar-pilar penegakan hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman hingga pengacara, harus fokus memberantas korupsi. Yan Apul yakin bila semua fokus, bisa jadi Indonesia bebas korupsi dalam 25 tahun mendatang.

Jumat, 25 Januari 2013

Penggagas dan pendiri POSBAKUM

Yan Apul Hasiholan Girsang 

 

Yan Apul, nama yang akrab di telinga masyarakat, khususnya bagi mereka yang terkait dengan bidang profesi advokat. Kiprahnya di organisasi advokat menunjukkan perhatiannya yang besar dalam usaha mewujudkan profesi advokat sebagai pilar penting penegakan hukum di Indonesia. Selain secara intens memfasilitasi para calon advokat melalui program-program pelatihan dan kursus-kursus. Yan Apul juga menjadi penggagas dan pendiri Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) dan juga sebagai salah satu pendiri Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

LAHIR DI KAKI PEGUNUNGAN Dolok singgalang – Sumatera Utara tanggal 24 November 1938, Yan Apul dibesarkan dalam keluarga yang bersahaja. Ayahnya Hiteradja Benjamin Girsang, bekerja sebagai kepala Pasar Seribu Dolok, sedang sang ibu, Dameria Ginting, adalah seorang pedagang batik. Kedia orang tuanya menginginkan sang anak bisa menjadi pejabat tinggi, sementara Yan Apul kecil justru bercitacita menjadi seorang pendeta.

Setelah Yan Apul lulus SMA “Jalan Seram “ di Medan tahun 1957, atas saran dan fasilitas dari Ketua Pengadilan Negeri Djariaman Damanik SH yang masih kerabatnya, Yan Apul berangkat ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Hukum UI.

Mulai kuliah di Salemba pada 4 Agustus 1957, laki-laki bershio macan ini menghayati benar makna Mars “Genderang UI” , khususnya pada bait “buku, pesta dan cinta”. Potret seorang mahasiswa tekun yang tak lepas dengan buku. Bersama dengan teman-temannya dia membentuk kelompok belajar PORTALIS yang dipimpin Teuku Amir Hamzah, menghabiskan banyak waktunya di perpustakaan. Sering kali setelah perpustakaan tutup, Yan Apul dan teman-temannya pindah ke ruang III, belajar dan berdebat sambil berkelakar hingga larut malam, sampai-sampai terpaksa menginap disana. Itulah pestanya mahasiswa ketika itu. Di kampus Salemba 4 pula, Yan Apul menemukan cintanya, Bhe Kiem Lan Nio, seorang putrid keturunan dari Purworejo, yang kemudian dinikahinya dan berganti nama menjadi Serri Ulina Tunggadewi.
Usai diwisuda tahun 1963, Yan Apul kembali ke Medan dan merintis karir sebagai jaksa. Tetapi tidak bertahan lama, dia mengundurkan diri dari jabatan jaksa dan banting setir menjadi pengusaha ekspor-impor. Dia pun hanya bertahan dua tahun.

Tahun 1974, Yan Apul kembali ke Jkarta dan membuka kantor pengacara “Yan Apul & Rekan”. Dia mulai merasa menemukan jalan pengabdian dan mulai terlibat aktif di organisasi PERADIN. Setelah dipercaya sebagai sekretaris PERADIN, Yan Apul terpilih sebgai Ketua Cabang Jakarta tahun 1979.
Menyadari pentingnya pembekalan tehadap para calon advokat, tahun 1980 Yan Apul melontarkan gagasan pendidikan advokat . gagasannya dismabut baik oleh Ketua Umum Peradin, R Soenarto Soerodibroto, SH., dan kemudian bersama-sama mendirikan lembaga bernama Kursus Advokat Peradin DKI Jakarta. Selain itu dibawah kepemimpinannya, Peradin Jakarta juga mendirikan Kursus Asisten Advokat.
Kiprahnya berlanjut. Berawal dari kunjungan Ketua Asosiasi Advokat dari Jepang di PN Jakarta Barat. Pada saat bersamaa, advokat Jepang melihat para terdakwa berkepala plontos digiring ke ruang sidang  dan bertanya ke Yan Apul, “Mana pembelanya?” Dengan jujur Yan Apul menjawab, “tidak ada”. Peristiwa memalukan itu mengusik hati nurani Yan Apul, dimana pengabdian para advokat kepada masyarakat.

Dia pun segera menggagas untuk mendirikan Pos bantuan hukum (POSBAKUM), sebagai tempat para advokat memberikan pengabdian kepada masyarakat dengan bantuan hukum secara Cuma-Cuma. Dengan cerdas Yan Apul melobi Bismar Siregar SH yang menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur  untuk menyediakan tempat praktek POSBAKUM. Bismar pun menyambut gembira, menyediakan satu ruangan di bawah tangga sebagai pos dan dilengkapi dengan 1 mesin ketik. Tonggak pertama POSBAKUM dimulai dengan dilantiknya 16 anak didik Yan Apul oleh Bismar Siregar. Gagasannya yang berilian itu mendapatkan apresiasi yang luas dan kemudian menjadi “embrio” berdirinya POSBAKUM di seluruh Indonesia.

Itulah capaian monumental yang diberikan Yan Apul dalam mendukung penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya POSBAKUM, masyarakat miskin dapat memperoleh bantuan hokum secara gratis. Bukan hanya msyarakat, para hakim pun layak berterima kasih kepda Yan Apul. Ketika meimpin siding dengan terdakwa tanpa didampingi penasehat hokum, hakim tinggal tunjuk anggota POSBAKUM untuk mendampingi terdakwa guna menciptakan proses peradialn yang akuntabel.

Pada tahun 1990, bersama dengan Gani Djemat, Yan Apul mendirikan Asosiasi Advokat Indonesia yang hingga kini msih bertahan dengan jumlah anggota sekitar 4.000 advokat. Meskipun demikian, dia sebenarnya berharap para advokat Indonesia dapat memiliki satu organisasi tunggal, PERADI. Namun Yan Apul mengakui sulitnya mewujudkan hal itu. Dia melihat “chemistry” dari advokat itu tidak bisa bersatu, sehingga organisasi Advokat, sampai sekarang masih ada 10 organisasi. Dan yang membuatnya semakin sedih adalah masih banyaknya advokat yang menjadi “MARKUS” yang merusak idealisme pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia.

Dan Yan Apul berharap, alumni muda FHUI mampu membangun kerjasama yang sinergis untuk berperan aktif dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Dia mengingatkan akan pesan Prof R. Djokosoetono, SH. Bahwa FHUI adalah “Sekolah Menteri”