Senin, 28 Januari 2013

Sang pengacara Kawakan Berjiwa Sosial

“Sebagai sebuah pekerjaan, pengacara merupakan sumber nafkah. Namun sebagai profesi di dunia hukum, pengacara bukan lagi sekedar seumber penghasil rupiah. Sebagai profesi yang memahami hukum, pengacara juga sebentuk tanggung jawab sosial bagi masyarakat yang berlandaskan hukum. Maka dimensi sosial dari seorang pengacra sudah inheren terdapat dalam profesi tersebut.”

Usia 74 tahun tidak bisa menyembunyikan penampilan gagah dari pengacara senior ini. Kegagahan itu diperkuat oleh suara baritonya yang ‘berat’. Pria kelahiran Seribudolok, Sumatera Utara, 24 Nopember 1938 ini terlahir dengan nama Djanapul Hasiholan Girsang. Namun salah seorang gurunya menuliskan namanya menjadi Jan Apul Hasiholan Girsang. Ketika Ejaan yang disempurnakan pada bahasa Indonesia diberlakukan, nama tersebut mengalami penyesuaian menjadi Yan Apul Hasiholan Girsang.

Pasca menamatkan studi hukum di Universitas Indonesia pada 1963, Yan Apul kembali ke Medan dan merintis karir sebagai jaksa. Selang beberapa waktu, Yan Apul beralih menjadi sorang pengusaha ekspor produk pertanian, seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, ubi kayu, makanan ternak dan impor onderdil kendaraan bermotor. Profesi ini tidak berlangsung lama. Ia merasa tidak menyukai bidang bisnis dan mencoba keberuntungan sebagai pengacara.

Sebelum melakoni profesi pengacara, Yan sempat bertanya kepada sejumlah rekan-rekannya perihal dinamika profesi tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak mudah untuk mencari dan mendapatkan klien. “mendengar hal itu, saya justru merasa tertantang,” terangnya mengingat masa peralihan profesinya itu.
Ternyata menjadi pengacara juga bukan hal yang mudah. Untuk mendapatkan izin beracara ia harus berulang kali mendatangi Departemen Kehakiman yang berada di Jakarta. Yan Apul harus menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk mendapatkan izin beracara.

Pengalamannya bertahun-tahun sebagai seorang pengacara telah menempa Yan Apul menjadi seorang pengacara yang sarat dengan pengalaman. Menurutnya, tuntunan bagi seorang pengacara adalah keharusan membaca dan mempelajari yurisprudensi, serta pengalaman menangani berbagai kasus. Itulah yang membuat dirinya memiliki pengetahuan, menurut Yan Apul, akan mempermudah seorang pencara untuk menyelesaikan suatu kasus yang sedang ia tangani.

Terhitung sejak 1978 hingga 2011, Yan Apul aktif sebagai dosen hukum. Bahkan ia juga aktif menjadi pembicara di berbagai seminar. Yan tidak pernah berhitung saat membagi pengetahuan yang ia miliki. Sejauh ia masih bisa melakukannya, ia akan senang hati menerima permintaan siapapun untuk berbicara diberbagai kesempatan seperti seminar dan kelas-kelas hukum.

Baginya, berbagi ilmu merupakan suatu keharusan. Inilah yang mendorongnya untuk terus berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada 13 pengacara yang bernaung di kantornya. Kepada mereka, Yan tidak pernah bosan mengingatkan bahwa hal terpenting yang harus dipegang oleh seorang pengacara adalah kejujuran. Nilai kejujuran sudah menjadi harga mati yang harus mereka pegang jika ingin menuai sukses sebagai seorang pengacara. Sebut saja nama-nama pengacara kondang yang telah berguru kepada Yan Apul, di antaranya Mery Girsang, Jamin Ginting dan pencara-pengacara lainnya.

Mendukung penegakan hukum

Berawal dari kunjungan Ketua Asosiasi Advokat dari Jepang ke PN Jakarta Barat, Yan Apul semakin menyadari peran sosial yang dimiliki oleh seorang pengacara. Saat itu para advokat dari Jepang melihat para terdakwa bekepala pelontos digiring ke ruang sidang. Salah seorang advokat dari Negeri Sakura tersebut bertanya, “Mana pembelanya?” “tidak ada,” jawab Yan Apul.

Peristiwa itu mengusik hati mantan Ketua PERADIN Cabang Jakarta tahun 1979. Keterusikan itulah yang melandasi gagasan berdirinya Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM). Nama POSBAKUM diberikan oleh seorang teman jaksa bernama Soehardibroto, SH. Inilah tempat para pengacara memberikan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pemberian bantuan hukum secara sukarela. Gagasan ini mendapat apresiasi yang cukup besar dari para pengacara di seluruh Indonesia. Hasilnya? Kini POSBAKUM telah berdiri dari Sabang hingga Merauke.

Lebih lanjut Yan menjelaskan, selama ini masyarakat miskin tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan hukum. Dengan adanya POSBAKUM, golongan masyarakat tersebut dapat memperoleh bantuan hukum secara gratis. Jika dilihat dari sisi lain, keberadaan anggota POSBAKUM yang mendampingi terdakwa akan menciptakan proses peradilan yang berjalan secara akuntabel.

Yan Apul menandaskan, Setiap orang punya hak untuk didampingi dan dibela oleh seorang pengacara. Ketika seorang pengacara membela seorang terdakwa, di sinilah profesi pengacara menjadi sumber penerangan hukum. Seorang pengacara dapat memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat melalui profesinya, terlepas dari status sosial dan ‘siapa’ yang dibelanya.

Kualitas pengacara

“dahulu saya tidak tahu cara membuat berbagai surat resmi yang harus dibuat oleh seorang pengacara,” ujar Yan mengenang pengalamannya ketika baru saja mulai melakoni profesi pengacara. Ia tidak tahu cara membuat surat gugatan dan berbagai surat resmi lainnya. Padahal pengetahuan dan kemampuan semacam itu praktis sangat dibutuhkan oleh seorang pengacara. Maka pada 1980, Yan mengagas berdirinya pendidikan bagi para pengacara.
                “saya ingin agar teman-teman yang mau menjadi pengaraca atau advokat memiliki keterampilan yang seimbang dengan para pendahulunya,” ucapnya.
Yan berharap, para pengacara Indonesia saat ini seperti para pengacara Amerika Serikat (AS). Ia mengatakan bahwa di negeri Paman Sam tersebut profesi advokat adalah profesi yang disegani. Di AS, seseorang dipanggil kepolisian baru menjalani proses penyidikan ketika sudah didampingi oleh pengacara. Kondisinya berbeda 180 derajad dengan apa yang terjadi di Indonesia. Yan memahami fenomena ini sebagai melorotnya apresiasi publik terhadap profesi pengacara sekaligus cermin buram wajah hukum Indonesia. Menurutnya, hukum yang berlaku saat ini belum mampu menegakkan ketentraman dan ketertiban (rust en orde) dalam masyarakat.

Namun, Yan Apul mengakui, sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) wajah hukum yang tadinya buram mulai memendarkan secercah terang. Jika kita bandingkan dengan beberapa pendahulunya,Yan menilai SBY lebih berani dalam memberantas korupsi dengan political will-nya. Pada saat SBY dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, terdapat sekitar 365 perkara korupsi di Kejaksaan Agung yang harus dibuka di pengadilan dan 200 perkara yang harus di-SP3-kan. “Pendahulunya tidak pernah memproses perkara-perkara tersebut hingga ke pengadilan. Saya tidak bermaksud memuji SBY, tapi itulah faktanya,” ungkap Yan.

Kunci lainnya guna mendukung berjalan hukum dengan baik adalah kekompakan pilar-pilar penegakan hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman hingga pengacara, harus fokus memberantas korupsi. Yan Apul yakin bila semua fokus, bisa jadi Indonesia bebas korupsi dalam 25 tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar