“Sebagai sebuah pekerjaan, pengacara merupakan
sumber nafkah. Namun sebagai profesi di dunia hukum, pengacara bukan lagi
sekedar seumber penghasil rupiah. Sebagai profesi yang memahami hukum,
pengacara juga sebentuk tanggung jawab sosial bagi masyarakat yang berlandaskan
hukum. Maka dimensi sosial dari seorang pengacra sudah inheren terdapat dalam
profesi tersebut.”
Usia 74 tahun tidak bisa
menyembunyikan penampilan gagah dari pengacara senior ini. Kegagahan itu diperkuat
oleh suara baritonya yang ‘berat’. Pria kelahiran Seribudolok, Sumatera Utara,
24 Nopember 1938 ini terlahir dengan nama Djanapul Hasiholan Girsang. Namun
salah seorang gurunya menuliskan namanya menjadi Jan Apul Hasiholan Girsang.
Ketika Ejaan yang disempurnakan pada bahasa Indonesia diberlakukan, nama
tersebut mengalami penyesuaian menjadi Yan Apul Hasiholan Girsang.
Pasca menamatkan studi hukum di
Universitas Indonesia pada 1963, Yan Apul kembali ke Medan dan merintis karir
sebagai jaksa. Selang beberapa waktu, Yan Apul beralih menjadi sorang pengusaha
ekspor produk pertanian, seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, ubi kayu,
makanan ternak dan impor onderdil kendaraan bermotor. Profesi ini tidak
berlangsung lama. Ia merasa tidak menyukai bidang bisnis dan mencoba
keberuntungan sebagai pengacara.
Sebelum melakoni profesi
pengacara, Yan sempat bertanya kepada sejumlah rekan-rekannya perihal dinamika
profesi tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak mudah untuk mencari dan
mendapatkan klien. “mendengar hal itu, saya justru merasa tertantang,”
terangnya mengingat masa peralihan profesinya itu.
Ternyata menjadi pengacara juga
bukan hal yang mudah. Untuk mendapatkan izin beracara ia harus berulang kali
mendatangi Departemen Kehakiman yang berada di Jakarta. Yan Apul harus
menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk mendapatkan izin beracara.
Pengalamannya bertahun-tahun
sebagai seorang pengacara telah menempa Yan Apul menjadi seorang pengacara yang
sarat dengan pengalaman. Menurutnya, tuntunan bagi seorang pengacara adalah
keharusan membaca dan mempelajari yurisprudensi, serta pengalaman menangani
berbagai kasus. Itulah yang membuat dirinya memiliki pengetahuan, menurut Yan
Apul, akan mempermudah seorang pencara untuk menyelesaikan suatu kasus yang
sedang ia tangani.
Terhitung sejak 1978 hingga 2011,
Yan Apul aktif sebagai dosen hukum. Bahkan ia juga aktif menjadi pembicara di
berbagai seminar. Yan tidak pernah berhitung saat membagi pengetahuan yang ia
miliki. Sejauh ia masih bisa melakukannya, ia akan senang hati menerima
permintaan siapapun untuk berbicara diberbagai kesempatan seperti seminar dan
kelas-kelas hukum.
Baginya, berbagi ilmu merupakan
suatu keharusan. Inilah yang mendorongnya untuk terus berbagi pengetahuan dan
pengalaman kepada 13 pengacara yang bernaung di kantornya. Kepada mereka, Yan
tidak pernah bosan mengingatkan bahwa hal terpenting yang harus dipegang oleh
seorang pengacara adalah kejujuran. Nilai kejujuran sudah menjadi harga mati
yang harus mereka pegang jika ingin menuai sukses sebagai seorang pengacara.
Sebut saja nama-nama pengacara kondang yang telah berguru kepada Yan Apul, di
antaranya Mery Girsang, Jamin Ginting dan pencara-pengacara lainnya.
Mendukung penegakan hukum
Berawal dari kunjungan Ketua
Asosiasi Advokat dari Jepang ke PN Jakarta Barat, Yan Apul semakin menyadari
peran sosial yang dimiliki oleh seorang pengacara. Saat itu para advokat dari
Jepang melihat para terdakwa bekepala pelontos digiring ke ruang sidang. Salah
seorang advokat dari Negeri Sakura tersebut bertanya, “Mana pembelanya?” “tidak
ada,” jawab Yan Apul.
Peristiwa itu mengusik hati
mantan Ketua PERADIN Cabang Jakarta tahun 1979. Keterusikan itulah yang
melandasi gagasan berdirinya Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM). Nama POSBAKUM
diberikan oleh seorang teman jaksa bernama Soehardibroto, SH. Inilah tempat
para pengacara memberikan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pemberian
bantuan hukum secara sukarela. Gagasan ini mendapat apresiasi yang cukup besar
dari para pengacara di seluruh Indonesia. Hasilnya? Kini POSBAKUM telah berdiri
dari Sabang hingga Merauke.
Lebih lanjut Yan menjelaskan,
selama ini masyarakat miskin tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan
hukum. Dengan adanya POSBAKUM, golongan masyarakat tersebut dapat memperoleh
bantuan hukum secara gratis. Jika dilihat dari sisi lain, keberadaan anggota
POSBAKUM yang mendampingi terdakwa akan menciptakan proses peradilan yang
berjalan secara akuntabel.
Yan Apul menandaskan, Setiap
orang punya hak untuk didampingi dan dibela oleh seorang pengacara. Ketika seorang
pengacara membela seorang terdakwa, di sinilah profesi pengacara menjadi sumber
penerangan hukum. Seorang pengacara dapat memberikan kesadaran hukum kepada
masyarakat melalui profesinya, terlepas dari status sosial dan ‘siapa’ yang
dibelanya.
Kualitas pengacara
“dahulu saya tidak tahu cara
membuat berbagai surat resmi yang harus dibuat oleh seorang pengacara,” ujar
Yan mengenang pengalamannya ketika baru saja mulai melakoni profesi pengacara.
Ia tidak tahu cara membuat surat gugatan dan berbagai surat resmi lainnya.
Padahal pengetahuan dan kemampuan semacam itu praktis sangat dibutuhkan oleh
seorang pengacara. Maka pada 1980, Yan mengagas berdirinya pendidikan bagi para
pengacara.
“saya
ingin agar teman-teman yang mau menjadi pengaraca atau advokat memiliki
keterampilan yang seimbang dengan para pendahulunya,” ucapnya.
Yan berharap, para pengacara
Indonesia saat ini seperti para pengacara Amerika Serikat (AS). Ia mengatakan
bahwa di negeri Paman Sam tersebut profesi advokat adalah profesi yang
disegani. Di AS, seseorang dipanggil kepolisian baru menjalani proses
penyidikan ketika sudah didampingi oleh pengacara. Kondisinya berbeda 180
derajad dengan apa yang terjadi di Indonesia. Yan memahami fenomena ini sebagai
melorotnya apresiasi publik terhadap profesi pengacara sekaligus cermin buram
wajah hukum Indonesia. Menurutnya, hukum yang berlaku saat ini belum mampu menegakkan
ketentraman dan ketertiban (rust en orde) dalam masyarakat.
Namun, Yan Apul mengakui, sejak
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) wajah hukum yang tadinya
buram mulai memendarkan secercah terang. Jika kita bandingkan dengan beberapa
pendahulunya,Yan menilai SBY lebih berani dalam memberantas korupsi dengan
political will-nya. Pada saat SBY dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia,
terdapat sekitar 365 perkara korupsi di Kejaksaan Agung yang harus dibuka di
pengadilan dan 200 perkara yang harus di-SP3-kan. “Pendahulunya tidak pernah
memproses perkara-perkara tersebut hingga ke pengadilan. Saya tidak bermaksud
memuji SBY, tapi itulah faktanya,” ungkap Yan.
Kunci lainnya guna mendukung berjalan hukum
dengan baik adalah kekompakan pilar-pilar penegakan hukum, mulai dari
kepolisian, kejaksaan, kehakiman hingga pengacara, harus fokus memberantas
korupsi. Yan Apul yakin bila semua fokus, bisa jadi Indonesia bebas korupsi
dalam 25 tahun mendatang.