Judul tulisan ini adalah tentang
kejadian yang nyata terjadi belakangan ini terhadap anggota Polri, yang
dilakukan oleh orang yang tidak diketahui dan tidak dapat ditangkap sampai
sekarang. Keadaan ini mengundang beberapa pertanyaan, diantaranya :
-
Siapa yang melakukan
penembakan itu ?
-
Kenapa ada orang yang menembak anggota Polisi ?
-
Dimana anggota Polri ditembak orang ?
-
Kapan anggota Polri ditembak orang ?
-
Kenapa penembak anggota Polri itu tidak tertangkap ?
-
Apa akibat penembakan itu terhadap anggota Polri yang lain ?
-
Apa sikap pimpinan Polri terhadap kejadian itu ?
-
Kapan penembakan itu akan berakhir ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas
tidak akan saya jawab satu persatu, tetapi dengan menjelaskan tugas yang
dibebankan kepada saya dalam diskusi ini “ Tentang Kekerasan Terhadap Anggota
Polri “, lebih kurang sebagian besar pertanyaan tersebut akan terjawab.
Tugas saya dari Panitia adalah
memberikan gambaran tentang struktur dan materi hukum yang dapat memberikan
efek cegah agar tidak terjadi hal tersebut, serta pandangan tentang kelemahan
penegak hukum pada era reformasi dan solusinya.
GAMBARAN TENTANG EGO-SEKTORAL
DAN AKIBAT NEGATIF YANG DITIMBULKANNYA
Sejak KUHAP diberlakukan sampai
sekarang, penyidik diawasi oleh atasan. Penyidik dan Jaksa mestinya diawasi
oleh Hakim dengan cara harus ada Ijin Hakim, melalui “pra peradilan”, seperti yang terjadi di
Jepang dan negara-negara maju lainnya. Akibat
dari sistim pengawasan internal saja yang dianut oleh Polri, menyebabkan
Polri terkurung kebijaksanaannya secara sektoral, karena pengawasan terhadap
bawahan sendiri tidak memberikan hasil yang optimal, bahkan menimbulkan kesepakatan
sektoral diantara anggota Polri melawan Jaksa, Hakim dan Advokat.
Kesepakatan sektoral ini adalah ikatan
yang kukuh diantara anggota Polri, tetapi menimbulkan efek negatif terhadap
masyarakat, bahkan lebih dari itu, penyidik
memandang anggota masyarakat sebagai objek.
Memandang anggota masyarakat sebagai
objek menyebabkan hak asasi dari orang itu tertindas atas perlakuan penyidik,
sebab hak asasi dari anggota masyarakat baru tumbuh dan tegak dengan baik, bila
penyidik memperlakukan tersangka sebagai subjek.
Sebagai objek
Contoh penyidik memperlakukan tersangka
sebagai objek adalah :
-
Penyidik membentak tersangka.
-
Penyidik memukul tersangka.
-
Penyidik menembak kaki tersangka dibagian belakang dengkul
atau betis.
-
Penyidik menjebak tersangka dengan sepotong rokok yang mengandung narkoba, atau jenis
lain.
Contoh lain:
Penyidik menyalahgunakan jabatannya
untuk mendapat keuntungan, seperti :
-
Tersangka pencuri 20 motor, ditawari keringan hukuman,
dengan syarat memberhentikan pengacaranya. Setelah diberhentikan, penyidik
mengajari tersangka untuk mengaku ia hanya mencuri dua motor. Tentu saja
hukumannya lebih ringan.
-
Anggota Polri banyak menangkap import narkoba/ekstasi atau
menangkap pabrik ekstasi dan sekali-sekali menghancurkannya dimuka umum, tetapi
ditempat-tempat tertentu masih banyak kejadian penjualan dan pemakaian narkoba
atau ekstasi, bahkan sampai kesekolah-sekolah dasar. Siapa yang bertanggung
jawab terhadap keadaan itu ?
-
Polisi melakukan pembiaran terhadap demo yang anarkhis,
sehingga banyak anak muda yang menggunakan kesempatan itu dilain waktu untuk
melawan Polisi, pada waktu permbersihan dilakukan Polisi.
-
Polisi membiarkan kelompok anak muda ngebut dijalan umum,
walaupun hal itu melanggar hukum dan bahkan membahayakan. Pada waktu Polisi
mengadakan penertiban dan menyita motor pengebut, kelompok anak-anak muda ini berani melawan Polisi
dengan demo, cacian dan lemparan batu.
Masyarakat
tidak merasa mendapat perlindungan maksimal.
Antipati
Contoh-contoh kasus diatas menunjukkan
anggota masyarakat tidak merasa mendapat perlindungan secara maksimal dari anggota
Polri, sehingga timbul antipati atau dendam anggota keluarga tersangka, karena merasa terzolimi. Bahkan kejadian yang tidak
baik tentang kelakuan anggota Polri itu, mudah tersebar pada masyarakat luas, melalui koran, internet atau televisi.
Selanjutnya, kejadian-kejadian tersebut menumpuk
menjadi bebas didalam hati sanubari pembaca atau penonton tanpa dapat
melupakannya.
Seandainya salah satu anggota keluarga-dekat
dari orang yang ditembak dengkulnya itu, ahli menggunakan senjata, kemungkinan
ia akan melampiaskan kekesalannya atau kekesalan bersama dengan menembak anggota Polisi yang terdekat
ditemuinya di jalan atau di kantor Polisi terpencil. Karena para pelaku tidak
tertangkap, maka kejadian itu berulang-ulang, seolah-olah mereka berjamaah
melakukan penembakan terhadap anggota Polisi, padahal belum tentu seperti itu. Tetapi beritanya sudah menjadi
dramatis diolah mass-media.
Dalam proses penyidikan.
Tugas penyidikan adalah mengumpulkan
bukti-bukti kejahatan kemudian memberkas dan mengirimkannya kepada Jaksa untuk
diteliti. Bila Jaksa sudah puas, ia mengirim surat P21 kepada penyidik dan
minta tersangka dan barang bukti yang tidak termasuk dalam berkas dikirimkan kepadanya, untuk tujuan merancang
surat dakwaan yang akan disampaikan kepada Hakim.
Damai dan ego sektoral.
Tetapi sering terjadi, berkas itu
pulang-pergi antara penyidik dan Jaksa, dan hal ini menjengkelkan penyidik.
Kejengkelan yang diaminin oleh atasan sendiri, berpotensi untuk mencari jalan
keluar lain. Saat inilah terjadi penyimpangan tugas yang tersembunyi, yaitu
mendamaikan terlapor dengan pelapor. Mendamaikan perkara pidana adalah
perbuatan haram dilakukan oleh penyidik, tetapi kesulitan menghadapi Jaksa
merubah persepsi penyidik, bahwa
perbuatannya itu menguntungkan masyarakat. Bahkan sekarang, kebanyakan perwira atasannya memuji penyelesaian
itu, padahal bertentangan dengan undang-undang. Hal ini dapat dianggap sebagai
penyangkalan penyidik terhadap berlakunya KUHAP sebagai hukum acara yang baku.
Disini, Hukum Aacara Pidana ditafsir sendiri oleh penyidik
untuk memudahkan tugasnya, tetapi
mengorbankan tujuan penegakan hukum, yaitu ketertiban umum, keadilan dan
kepastian hukum.
Dan hal ini menjadi pertunjukan
yang tidak baik, sebab ego sektoral menjadi
pedoman anggota Polisi, walaupun bertentangan dengan undang-undang hukum acara
pidana. KUHAP sudah mengatur, bahwa laporan kejadian pidana disidik oleh
Penyidik, dituntut oleh Jaksa, dibela oleh Penasehat Hukum dan di vonnis oleh
Hakim.
Dalam hal damai terjadi, Penyidik
Polisi telah mengambil alih tugas Jaksa, Penasihat Hukum dan Hakim.
Ego sektoral ini juga terjadi dalam hal
Ketua Pengadilan Negeri minta bantuan Kepala Polisi setempat, untuk
mengeksekusi putusan perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, misalnya
Ketua Pengadilan Negeri mohon bantuan Kepala Polisi setempat untuk mengeksekusi
penetapan pengosongan tanah/rumah dalam rangka melaksanakan putusan Hakim. Kepala Polisi bersangkutan
mempertimbangkan apakah akan menuruti
penetapan Hakim bersangkutan terlebih dahulu atau menolak, sambil menunggu
keterangan tambahan yang akan diberikan oleh pihak yang akan datang meminta
bantuan, apakah pemohon eksekusi atau termohon eksekusi.
Pokoknya Kepala Polisi memutuskan
dengan pendapat sendiri.
Di Belanda Kepala Polisi tidak boleh
menolak perintah Hakim.
EGO SENTRAL PENEGAK HUKUM
Ego sentral terjadi pada anggota
Kepolisian, Kejaksaan, Hakim Advokat, sehingga menghambat kelancaran pembangunan hukum acara
pidana yang baru di Indonesia, karena masing-masing mendahulukan kepentingan
kelompoknya sendiri, selanjutnya kepentingan pribadi masing-masing anggota
penegak hukum, dan kekuatan ego sentral tersebut masih sulit dilepaskan oleh masing-masing
badan penegak hukum, karena effeknya sudah merasuk kedalam peredaran darah
masing-masing anggota.
Apa yang merasuk darah anggota-anggota
tersebut ? Yaitu kepentingan hidup keluarga (sebab kurang gaji), keserakahan,
sebab tidak cukup makan tiga kali sehari.
PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA
Sekarang ini, sebuah panitia yang
diketuai oleh Prof. DR Andy Hamzah, SH sedang mengintrodusir KUHAP BARU, yang
terhambat pengajuannya kepada SEKNEG, dan DPR RI, karena ada pihak yang kebertan
terhadap perubahan-perubahan yang diusulkan.
Sebetulnya, apa yang diusulkan oleh Pak
Hamzah tersebut, adalah hasil penelitian dan studi banding bertahun-tahun di
Indonesia dan diluar negeri, dimana proses penegakan hukum sudah berjalan
secara modern dan konsekwen dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Dalam Tim
yang dipimpin oleh Pak Hamzah tersebut, semua anggota badan penegak hukum sudah
terwakili, termasuk anggota Polri.
MENAHAN ORANG HARUS MENDAPAT IZIN KETUA PN
Salah satu usul dari panitia tersebut adalah
memperbaharui sistim pengawasan pada penyidik tentang penahanan. Seorang
tersangka, menurut hukum pidana, boleh ditahan oleh penyidik apabila menemukan dua bukti. Yang menentukan dua bukti sudah
dipenuhi adalah hakim pra peradilan yang bertugas selama 24 jam di Pengadilan
Negeri. Dalam proses menemukan dua bukti tersebut, penyidik dipimpin oleh Jaksa
(boleh melalui telepon). Selanjutnya bersama-sama dengan Jaksa, penyidik
mengajukan permohonan penahanan pada Hakim. Dalam sidang pra peradilan tersebut
Jaksa wajib membuktikan dua alat bukti tersebut. Tersangka didampingi oleh
Advokat. Bila Hakim puas, maka izin
penahanan dikeluarkan oleh Hakim.
KORUPSI
Didalam tubuh empat penegak hukum
Indonesia ini sudah merata rayapan korupsi dari bawah keatas dan dari atas
kebawah. Merayap dari bawah keatas, artinya agar seseorang diterima di badan penegak
hukum tersebut dan untuk naik pangkat atau untuk mendapat fasilitas yang baik,
harus memberi setoran. Sebaliknya, dari atas diberikan tugas khusus pada
bawahan dan kadang-kadang ditargetkan untuk menghasilkan sesuatu dana keperluan
pengembangan program bersama.
JALAN KELUAR
Jalan keluar dari dilemma yang kita
hadapi sekarang adalah:
1. Pendidikan bersama antara Polisi,
Jaksa, Hakim dan Advokat. Caranya tidak perlu mendirikan pendidikan yang baru,
cukup dengan mengirimkan penyidik
kesekolah Jaksa selama 6 bulan untuk mempelajari ilmu Jaksa tentang pendakwaan
dan penuntutan, kemudian 6 bulan lagi untuk mempelajari ilmu membuat keputusan
yang baik (Sekolah Hakim), dan terakhir 6 bulan lagi disekolah Advokat untuk
menimba ilmu pembelaan. Apabila hal ini bisa dijalankan secara bergiliran, maka
pikiran sektoral tidak akan timbul lagi, dan proses penegakan hukum berjalan dengan
lancar, tanpa friksi.
2. Untuk memberantas perbuatan korupsi, pimpinan
harus tegas melaksanakan program kerja dan menjadi contoh yang baik untuk menanamkan
budaya malu pada bawahan.
Jakarta, 10 Oktober 2013.
Yan Apul, SH